Senin, 01 Desember 2008

Bercak cinta (2)

Bercak cinta (2)

Aku menimang-nimang tali yang kudapat dari tong sampah depan rumah. Tali rafiah berwarna merah. Aku mulai cemas dengan tindakanku ini, tapi sekali lagi tubuh bagai tersihir bergerak sendiri tak kuat menahan siksa perih oleh cinta yang pilih kasih. Ku mendongak keatas, berputar, mencari sandaran untuk tali yang telah kusiapkan.

Tak terasa sudah tiga jam aku terus berputar-putar berkeliling apartemenku yang atapnya polos dengan plafon dari semen. Terang saja tak ada tempat untuk menggantungkan tali rafiahku. Lebih tepatnya aku hanya mondar-mandir dengan keraguan untuk melaksanakan niatku. Sebenarnya kalau memang mau serius bukan hanya tali media yang bisa direkomendasikan. Pisau yang bisa memotong urat nadi ada di dapur, obat nyamuk cair bisa diminum tersedia di rak lemari, letak apartemenku di lantai lima cukup untuk memecahkan tengkorak kepala, kereta api express lewat setiap hari, atau jembatan dengan sungai yang cukup dalam tidak jauh dari sini. Walaupun belum pernah ku mencobanya tapi itulah yang diajarkan pendahuluku untuk mengakhiri hidup mereka.

Sepertinya masih ada bagian tubuhku yang menolak untuk eksekusi, perang batin berkecamuk, menusuk-nusuk, menangkis, menyerang dan menghindar. Sangat ramai kalau di visualisasikan. Tubuh lelah mata mengantuk, kemudian kurebahkan tubuhku, kecapean dan tertidur. zzzz

****
pagi ini aku memaksa keluar kamar untuk refresh pikiran agar bisa lebih jernih. Aku teringat cerita ketika masih di sekolah, Kisah orang yang mati belum waktunya dengan memutuskan nyawa oleh tangan sendiri, oh betapa sengsaranya arwah gentanyangan tak diterima kubur dan dipastikan neraka menunggu di akhir waktu. Kisah itu menyadarkanku agar tak meneruskan rencana gilaku. Dan memang konyol dengan alasan apapun, daripada mati di tangan sendiri, Lebih baik mati ditangan orang apalagi bisa berguna untuk orang lain. Kuperhatikan sepanjang jalan, kali aja ada orang menyebrang yang mau tertabrak mobil maka aku akan mendorongnya dan kuganti dengan tubuhku. Oh tidak.. aku berkhayal yang tidak-tidak lagi.

Kuingat-ingat kembali bagaimana pertemuanku dengan wanita yang menyebabkanku mengalami penderitaan cinta si patkai. namanya enny, wajahnya cantik meski tanpa make up, mahasiswa cerdas dan pintar, kaya dan berwibawa, aku yakin dia juga jadi incaran orang sepertiku bahkan diatasku atau bahkan sudah dimiliki orang. Sungguh tipe wanita ideal dikelasnya. she's so perfect. Dia setara dengan artis telivisi hanya saja belum dikenal produser. Sebenarnya sudah sering aku melihat wanita yang secantik enny, ya di televisi itu.

Tidak realistis tipe wanita yang ku idamkan, terlalu high class sementara aku yang tergolong buntut class. Justru itu alasan kuatku kenapa aku berusaha menjauhi cinta temannya narkoba, sama-sama memabukkan dan berbahaya, sulit mendapatkannya dan selalu membuat ketagihan bagi yang pernah merasakannya. Lagi pula aku juga takkan pernah jatuh cinta kalau tidak mengenalnya.

Gara-gara aku mencoba menolong ketika dia sedang digoda oleh pemuda yang sedang mabuk. Sebenarnya aku tak murni ingin menolongnya juga sih, karena kebetulan pemabuk itu adalah orang yang sering mengganguku dan suka minta jatah uang untuk beli minuman, sementara aku tak bisa berbuat apa-apa sebab dia selalu bersama teman geng nya.

Suatu kebetulan, dendam lama muncul bersamaan kesempatan parasit sialan itu sedang tak bersama temannya dalam keadaan mabuk pula. aku mengincarnya pelan-pelan dari belakang, sedangkan dia sibuk menggoda enny yang terus meronta. Kuangkat tasku yang berisi macam-macam barang yang lumayan keras untuk menghajarnya. Waktu itu benar-benar menegangkan, dengan sekejap darahku memanas serasa iblis telah merasuki tubuh, belum pernah kurasakan hawa pembunuh sedahsyat ini. sekuat tenaga kuhantamkan tas bawaanku ke arah kepalanya sebanyak tiga kali, aku bener-benar menikmati tiap-tiap pukulannya tanpa memikirkan isi tasku yang akhirnya akan ku sesali nantinya.

Tiga kali pukulan pemuda itu roboh dan botol minumannya terpental keras dengan suara pecahan yang tak asing ditelinga. Pemuda itu mencoba bangkit lagi sementara nafasku agak tersengal-sengal karna pukulan yang kulayangkan terlalu kuat dan menguras tenaga, tapi pemuda itu seakan tak menunjukkan rasa sakit sedikitpun hanya wajah blo'onnya yang menyeringai karena pengaruh minuman setannya.

Melihat situasi itu aku memilih untuk kabur, karena tak mungkin aku adu kekuatan menghadapinya, bisa-bisa dia mengenaliku dan membawa pasukannya untuk membinasakanku. Kutarik tangan enny yang masih terbengong dengan ulahku kemudian kabur meninggalkan TKP untuk menghindari hal buruk lainnya.

Sampai di tempat yang aman kami beristirahat setelah melakukan langkah seribu melarikan diri dari kejaran musuh, meski aku tak yakin apakah dia mengejarku atau tidak. Senyum puas mengembang atas kemenanganku pertama kali melawan tukang mabuk, menyerangnya dari belakang dan buru-buru kabur sebelum musuh mengatakan kata menyerah, memang tidak jantan tapi emangnya gue pikirin.

Di tengah-tengah kesibukanku mengatur nafas yang terputus-putus, wanita itu mengucapkan terima kasih dan mengenalkan diri dengan nama Enny Rastiani. Sungguh seakan aku telah jadi pahlawan waktu itu.

"Tapi seharusnya tak perlu bertindak sejauh itu kan?", belum puas hati melayang keburu jatuh dengan ucapan bernada seakan mau bilang aku tadi bisa mengatasinya sendiri tanpa bantuanmu. Sungguh tidak menghargai usaha setengah mati perjuanganku. Tapi kupikir-pikir lagi memang tak seharusnya tidak dengan pukulan buta hanya untuk menolongnya lepas dari gangguan pemabuk tak berdaya itu. Tidak, aku hanya ingin melampiaskan kemarahanku saja, lagi pula siapa yang mau menolongmu dasar wanita sombong tak tahu berterima kasih, hampir saja kata-kata itu keluar kalau bukan karena nafasku yang masih berkejaran.

Aku hanya diam tak menanggapi ucapannya, karna sedikit tersinggung ku tinggalkan Enny begitu saja. Dan sudah menjadi kebiasaanku bersikap dingin terhadap wanita, demi menjalankan komitmenku stay away from women and love.

Belum jauh ku melangkah Enny mengejarku dan meminta maaf atas ucapannya tadi, rupanya dia sadar telah membuatku tersinggung, tapi sedikit, dan sekali lagi aku merasa menang dengan dia meminta maaf.

Dari situlah aku bertemu dan mengenalnya dengan baik. Tanpa terasa aku makin akrab dengannya sebab dia sering berkunjung ketempatku. Dihitung-hitung baru kali ini aku memiliki teman sebaik dan seramah Enny, yang membuatku sedikit kagum adalah kekebalannya dalam menghadapi orang yang sedingin dan secuek aku.

Dia selalu memberikan perhatiannya untukku Aku merasa betah berlama-lama dengan dia meski tak kutunjukkan sikap ramahku . Dan sisi lain dari diriku pun sering kali menyuruhku menjauh darinya sebelum perasaan suka benar-benar tumbuh. Aku tahu kami jauh berbeda, selama ini aku selalu berusaha menganggap hubungan ini hanya sebatas teman atau hanya karena kasihan.

Dan benar rupanya, hanya masalah waktu akhirnya dia pergi, tidak lagi muncul di hadapanku.Tanpa sempat mengantisipasi, sebab terlena oleh pengalaman yang belum pernah menghampiriku selama ini. ku nodai komitmen yang susah payah kubangun demi menjaga diriku dari virus cinta. Apakah Enny yang terlalu kejam dengan mudahnya mendekati dan meninggalkanku tanpa mengerti perasaanku. Ataukah aku yang terlalu sembrono membiarkannya hadir di tengah dunia sempit penuh ilusi dalam hidupku.

Dan sekarang sudah hampir satu bulan dia tak pernah memberiku kabar dan parahnya aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku masih berharap padanya. Yang membuatku lebih sakit bahwa harapan itu jelas jelas kosong untukku. Aku merasa dikhianati meski tak pernah ada janji yang terucap. Aku lebih sering menyalahkan diri sendiri atas kelemahan dan kebodohanku. Baik karena telah bertemu dengan Enny atau karena tak pernah menolak ajakannya untuk berteman.

Bagaimana aku harus menyebutnya, sebuah kenangan indah, ataukah penyesalan sebagai pelajaran?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar