Senin, 01 Desember 2008

Indonesiaku yang sempit



Indonesiaku yang sempit

Negara kita kaya akan budaya, negara kita penuh kemajemukan. Negara kita juga saling menghargai perbedaan. Ragam budaya dan bahasa menjadi aset berharga yang harus dijaga, dan keragaman itu menjadi inspirasi para seniman sejati.

Kira-kira seperti itulah ore menggambarkan indonesia yang katanya sudah merdeka pada taon empat lima. Yang mau ore omongin di sini adalah seni dan budaya. Kritik sambal untuk para seniman dan nasib budaya bagi kaum muda. Uneg-uneg yang ore omongin di sini berdasar apa yang ore lihat saat ini dan belum diuji kebenarannya secara ilmiah jadi gak usah napsu dulu dibuat rujukan.

Maksud ore seniman yang mo dikritik di sini adalah seniman di dunia entertainment, lebih spesifik lagi dunia perfilman dan khususnya sinetron. Sudah bukan rahasia lagi bahwa kualitas sinetron kita emang sering kebanjiran kritikan dari pengamat masalah perfilman (dan sejak kapan ore ikut mengamati pilem?), sepertinya mereka sudah dapat suntikan imunisasi KK (kebal kritik) atau memang mati suri dalam kreativitas.

Yang sering ore amati khususnya dari segi pendidikan dan pesan moral. Mulai kasus pergaulan bebas para anak muda, exploitasi perempuan yang makin berani, ibu-ibu pecandu gosip, para bapak yang doyan selingkuh, belum lagi gaya hidup serba mewah yang tidak mencerminkan wajah orang indonesia yang rata-rata masih kesusahan. Jujur aja ore ngrasa miris kalo liat sinetron sering ada wajah-wajah iblis bermunculan (emang sih Cuma ekting, tapi seperti menunjukkan beginilah kelakuan orang kita di mata dunia). Sementara ore juga rada sebel liat peran orang yang memiliki kebaikan dan kesabaran tingkat tinggi seperti orang-orang suci (bukannya tidak suka, tapi kesannya amat sangat terlalu dibuat-buat, bisa dibilang mati rasa untuk ukuran orang awam. begitu barangkali), padahal seting filmnya itu kehidupan normal biasa dan bukan seting dunia lain.

Ekting yang berlebihan, ekting peran antagonis atau orang lagi emosi, entah artisnya yang kurang pro ato sutradaranya sengaja begitu, kalo ada antagonis selalu saja wajah iblis yang dimunculkan, mata melotot kepala diangkat suara dikencengin, otot sarap mengencang sejadi-jadinya dan kameraa roll eksyen!!. Aaaummkh...!! Terlihat sekali si aktor membuang sama sekali unsur manusiawi dalam diri tanpa sisa. Maksud ore bukannya ektingnya buruk, bagus kok, nyatanya berhasll membuat penonton sebel liat orang macam yang diperanin si aktor. Yang menggeltik ore untuk mengomentari adalah seakan-akan kami para pemirsa dianggap bodoh dan kurang sensitif dalam menangkap keantagonisan sang pemain sehingga sang sutradara perlu membikinnya seekstrim mungkin dengan menonjolkan sisi gelap dari ekspresi sang artis secara berlebihan. Padahal menurut ore ekspresi yang wajar akan lebih membuat penonton berempati pada peran antagonis yang menjadi jahat bukan semata-mata tanpa alasan. Bukankah pada dasarnya sifat manusia adalah manusiawi, asalkan citra buruk lebih ditekankan melalui kedalaman cerita maka tak perlu si antagon berubah menjadi iblis. Sebab antagonis tidak selalu jahat, kecuali kalo memang lagi peran kerasukan jin penunggu pohon kwaci, itu sih memang cocok.

Tentang budaya, trus pilem hubungannya dengan budaya kita apaan, yah ini baru setahu ore aja sih. Itu tuh budaya jakarta, memang sih karena pilem kita didominasi dengan setting orang jakarta (aduh sempit amat ya mo bikin pilem di indonesia). Kalo masalah itu ore yakin karna masalah waktu dan biaya, mo nyari lokasi suting di luar jakarta kayaknya ndak ada yang cocok sama kocek. Dan seakan-akan di mata dunia, indonesia adalah hanya jakarta dan bali, yang terjadi seniman kok dibatasi, kalo sudah begitu bagaimana bisa dibilang kreatif?. Yang menjadi masalah adalah kekhawatiran ore akan terjadinya menjakartakan indonesia. Lho kok gitu? Sebentar, sabar dulu jangan terburu menafsirkan, itu hanya istilah ore aja kok. Emang gak banyak sih contohnya, tapi yang bikin ore tersinggung, orang jakarta aja bukan, tapi sok bilang lo en gue, dan parahnya anak muda sekarang seakan dipaksain ngomong ke gue daripada elo pade kalo mo gokil abiisss. itu kan sama saja membunuh identitas diri. Gue malu kalo bilang inyong atau urang kalo dijakarte, (oo.. gitu ya) trus kenapa ndak malu udel sama ketiak elo obral dijalanan (maksude jalan-jalan pake baju terbuka untuk umum, hush ada yang lirak-lirik tuh! Sapa hayoo..).

Menurut pandangan sempit ore, seakan-akan indonesia hanya milik orang jakarta sehingga stasiun televisi lebih banyak menampilkan acara berbau dan berbudaya kota metropolitan. (ya terang aja lho wong stasiun tipinya aja pada ngumpul di jakarta). Dan secara tidak langsung mengajarkan para pemirsanya mengikuti tingkah laku para pelaku sang selebritis. Kita tahu seberapa besar pengaruh televisi terhadap perkembangan pendidikan dan budaya, kita juga tahu rata-rata rakyat kita menjadikan acara televisi sebagai menu wajib di setiap rumah. Kita juga tahu anak-anak dan pemuda adalah generasi penerus bangsa, trus mau dibawa kemana negara ini (ya ndak tahu, emangnya siapa yang kuat ngangkat negara kok pake dibawa-bawa?. Tuh kan mbanyol lagi, kebiasaan kalo ndak bisa jawab suka berkelit, main petak umpet, trus kalo dah capek ganti mainan baru, gitu aja kale..).

Bagaimanapun itu adalah potret bangsa indonesia dimata salah seorang warganya (maksudnya ya ore gitu). Ore seakan tak henti-hentinya protes kenapa tuh tipi kok isinya Cuma wilayah jabotabek, ore yakin ini salah satu penyebab kenapa para pencari cinta (cinta harta dan dunia) banyak berbondong-bondong ke sana. Mereka terhipnotis menjadi seekor semut yang mencium aroma gula yang bernama jakarta. Belum lagi, mentang-mentang para pemirsanya suka sama acara tertentu lantas rame-rame buat acara gituan terus-terusan sampe kering mampus, Bukan begitu?, yang setuju monggo, yang gak setuju gak usah demo. lof en piss. Misi...

Gomenasai machigai areba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar